Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEUTAMAAN BERKELANA UNTUK MENUNTUT ILMU



Perjalanan panjang yang sangat menakjubkan! Satu bulan perjalanan ditempuh hanya untuk sebuah hadits yang bisa dibaca tidak lebih dari lima menit. Subhanallah.

Demi mendengarkan hadits ini secara lengkap dan utuh melalui sumber yang langsung mendengar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir mengencangkan ikat pinggang, menembus panas sahara meninggalkan kota Madinah menuju negeri Syam. Ia menjumpai Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu, sang pemilik hadits.

Demikian agung nilai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mata generasi terbaik umat ini. Para sahabat benar-benar memandang bahwa satu kalimat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik dari dunia dan seisinya, bahkan tidak bisa dibandingkan. Demikian pula seharusnya cara pandang seorang muslim terhadap sabda-sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena besarnya nilai ilmu itulah, sudah sepantasnya jalan-jalan yang panjang ditempuh demi meraihnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang keutamaan menempuh jalan menuntut ilmu,

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh jalan meraih ilmu (al-Kitab dan as-Sunnah) niscaya akan Allah ‘azza wa jalla mudahkan jalan baginya menuju jannah.” (HR. Muslim no. 1390)

Melakukan rihlah (perjalanan jauh) menuntut ilmu telah menjadi kebiasaan ulama pendahulu umat ini baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya. Salaf (pendahulu) umat ini memahami benar bahwa ilmu itu harus dicari dan didatangi, tidak datang dengan sendirinya! Ilmu dicapai dengan upaya, bukan ditunggu dengan berleha-leha. Perjalanan panjang menuntut ilmu telah dicontohkan oleh Nabi Musa ‘alaihissalaam dalam perjalanan panjangnya bersama Khidhir yang diabadikan dalam surat al-Kahfi. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya, “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (al-Kahfi: 60)

Dalam riwayat-riwayat sirah (sejarah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kita dapatkan contoh yang sangat banyak. Para sahabat yang berdatangan dari segala penjuru menuju kota Madinah untuk belajar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menanyakan problem yang mereka hadapi, kemudian kembali ke kampung halaman masing-masing mendakwahkan ilmu yang telah ditimba.

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat terus bersemangat melakukan perjalanan menimba ilmu, sebagaimana semangat mereka menyebarkannya kepada umat. Hal ini bisa dilihat pada kisah Jabir bin Abdullah bersama Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhuma di atas.

Jejak generasi terbaik diikuti oleh para tabi’in, atbaut tabi’in, dan ulama setelah mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menempuh perjalanan yang begitu jauh untuk menuntut ilmu.

Al-Imam Abu Hatim ar-Razi rahimahullah mengatakan bahwa dirinya pernah berjalan kaki lebih dari 1.000 farsakh. Padahal satu farsakh lebih dari 5 km, belum lagi perjalanan beliau menaiki kendaraan.

Setiap kali membaca biografi ulama, kita dapatkan sejarah perjalanan mereka menuntut ilmu, baik berjalan kaki maupun berkendaraan, menuju Makkah, Madinah, Baghdad, Yaman, Mesir, Damaskus, dan negeri-negeri lain yang menjadi pusat ilmu kala itu.

Baqi bin Makhlad al-Andalusi rahimahullah melakukan perjalanan dari Andalusia ke Afrika lalu menuju Baghdad untuk belajar kepada al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sendiri telah melakukan perjalanan yang begitu jauh. Ibnu Jauzi rahimahullah mengatakan, “Al-Imam Ahmad pernah mengelilingi dunia dua kali sampai ia menyusun kitab al-Musnad.”

Ilmu al-Kitab dan as-Sunnah memang demikian mahal. Sungguh, untuk meraihnya harus ditempuh jalanjalannya, baik jalan yang bersifat indrawi seperti berjalan menuju masjid dan menghadiri majelis-majelis ilmu, maupun jalan yang sifatnya maknawi seperti duduk membaca kitab-kitab ulama dan berusaha memahaminya.

Barang siapa menempuh jalan tersebut, Allah ‘azza wa jalla akan mudahkan baginya jalan menuju jannah. Sebab, hanya dengan ilmu syar’i itulah seorang mengenal hak-hak Allah ‘azza wa jalla, mengenal nama-nama Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat-Nya Yang Mahaagung, serta mengerti tauhid dan kesyirikan.

Dengan ilmu syar’i itu pula Anda akan mengerti hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla yang terkait dengan diri Anda atau orang lain. Anda akan mengetahui cara bersuci, shalat, dan seterusnya. Anda akan mengerti pula apa yang diperintahkan dan yang dilarang-Nya. Anda akan mampu membedakan antara yang haq dan yang batil.

Dengan menuntut ilmu syariat, jalan pun menjadi terang dan segala kebaikan akan diraih. Hal ini dijanjikan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Siapa yang Allah ‘azza wa jalla kehendaki kebaikan atasnya, Allah ‘azza wa jalla akan pahamkan dia dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Jika seorang telah mengetahui betapa agungnya ilmu syar’i, sudah sepantasnya ia bersegera mempergunakan kesempatan. Lebih-lebih masa muda, saat segala kemampuan dimiliki dan belum datang kesibukan serta masa tua 

Posting Komentar untuk "KEUTAMAAN BERKELANA UNTUK MENUNTUT ILMU"